Sabahatku, janganlah kau iri, dengki dan apalagi sakit hati kalau paras wajahku lebih ganteng, penampilanku lebih keren, perhiasanku lebih mentereng, bahkan namaku pun lebih beken darimu (hehehehe....!). Ini bukan bercanda dan tidak bermaksud menyombongkan diri sahabat, karena memang aku dan dirimu telah ditakdirkan Tuhan untuk berbeda. Bukankah engkau pun sudah tahu bahwa Tuhan telah menciptakan aku 'lebih sempurna' daripada dirimu. Karena aku telah diberikan akal oleh-Nya yang tidak diberikan kepadamu. So, sungguh aku dan dirimu ada jurang pemisah yang dalam.
Sahabatku, memang seharusnya aku bahagia karena aku 'lebih mulia' darimu. Seharusnya aku pun bangga karena posisiku 'lebih terhormat' darimu. Namun, entah apa yang tengah terjadi pada diriku, karena aku malu menyandang kehormatan itu. Di masa-masa yang masih tersisa ini seringkali aku merenung tentang siapa sesungguhnya diriku. Tentang diri ini yang malu pada dirimu karena terkadang aku tidak lebih baik daripada dirimu.
Sahabatku, dua puluh lima tahun silam, kala aku di bangku sekolah menengah atas, aku termasuk yang sangat tidak setuju pada pendapat dan teori seorang ilmuwan nyeleneh, Charles Darwin, tentang 'The Origin of Species'. Gusar, marah, bercampur sebel, saat guruku bilang bahwa aku dan dirimu berasal dari satu nenek moyang yang sama. Dan aku anggap teori evolusi yang dilotarkannya pada abad ke-19 itu hanyalah untuk mencari sensasi saja. Omong kosong, dan bualan semata. Namun, kalau dipikir-pikir, sebagian dari pemikirannya tersebut ternyata tidak sepenuhnya salah, ada benarnya juga sahabat. Karena, sungguh tak jarang sikap, perilaku, kebiasaaku yang mirip denganmu, bahkan terkadang lebih buruk lagi.
Sahabatku, pantaskah aku menyandang derajat lebih mulia darimu, sementara aku lebih mudah tunduk pada syahwatku daripada akal sehatku, lebih banyak yang aku makan daripada yang aku berikan, lebih banyak yang aku hinakan daripada yang aku muliakan, lebih banyak yang aku sakiti daripada yang aku bahagiakan. Pantaskah aku berbangga diri, sementara hampir tak ada lagi rasa malu dalam diriku: masih suka mencuri seperti dirimu, masih rakus seperti dirimu, dan masih suka mengobral aurat seperti dirimu. Pantaskah aku disebut mahluk yang lebih mulia darimu, sementara aku lebih sering melakukan kerusakan di muka bumi ini daripada berusaha menjaga kelestariannya: gunung-gunung aku gunduli, sungai-sungai aku racuni, dan langit biru aku kotori dengan polusi.
Sahabatku, memang perjuangaku belum selesai. Perjalanku belum berakhir. Masih ada waktu tersisa untuk merubah segala yang ada. Walau aku menyukaimu, aku tidak ingin seperti dirimu. Aku tetaplah aku. Dan, dalam galaunya perasaanku, semoga Tuhan masih sayang padaku, masih memberikan kesempatan kedua padaku, agar aku kembali 'menjadi mahluk yang lebih mulia daripada dirimu'.
3 komentar:
maksudnya manusia dibandingin sama monyet yach?? manusia memang makhluk yang paling sempurna/ mulia dibanding makhluk lain. :) :)
tulisan yg bagus...
membuat lebih merenung sebagai makhlukNya yg bernama manusia
sekali sekala kita terfikir juga mereka ini lebih bernasib baik dari kita. bebas bergerak dimuka alam ini tanpa memikirkan hal2 yang akan datang. sedangkan kita harus berfikiran lebih positif demi kesinambungan masa depan yang lebih cerah.
Posting Komentar