Bagi para penggila sepakbola, kegagalan jawara Liga Inggris, Manchester United melakoni laga persahabatan dengan Indonesia All Stars tanggal 20 Juli beberapa hari lalu pastilah menyisakan kekecewaan mendalam, termasuk juga diriku. Harapan menyaksikan langsung aksi-aksi nan menarik dari para pemain kelas dunia yang penuh talenta, rupanya harus dikubur dalam-dalam selepas bom yang mengguncang Jakarta Jumat pagi hari itu.
Walaupun rasa kecewa itu sulit dicari obat penawarnya, tetapi musibah itu ternyata membawa hikmah. Lantaran gagal pergi ke Senayan, akhir pekan ini, aku bisa berlibur ke kampung halamanku. Sebuah kampung di kaki gunung Galunggung, kira-kira 15 kilometer dari pusat kota Tasikmalaya. Sebuah kampung dengan sejuta cerita dan segudang kenangan indah masa silam.
Kini, tentu saja kampungku telah banyak berubah seiring perkembangan zaman dan berlalunya waktu. Hawanya tak sesejuk dulu lagi akibat Global Warming yang tak terhindarkan. Air sungai tempat aku dan kawan-kawan berenang sehabis sekolah tak sejernih dulu lagi lantaran bercampur lumpur erosi di bagian hulu. Pohon-pohon tua yang rindang dan terkadang menakutkan sudah banyak ditebang untuk bahan bangunan. Sawah-sawah yang terhampar luas telah banyak yang beralih fungsi menjadi rumah-rumah penduduk.
Walaupun kampungku tak seperti dulu lagi, kerinduanku akan kampung halaman tak pernah bisa hilang. Ada kenangan indah masa silam yang takan bisa dilupakan. Saat berlarian disepanjang pematang sawah mengejar layang-layang putus. Saat bermain perang-perangan dengan senjata dari batang pelepah pisang. Saat bermain bola di tengah genangan lumpur. Saat bermain petak umpet di bawah temaram sinar bulan purnama.
Kampungku itu pun tak mungkin aku lupakan sampai akhir hayat dikandung badan. Karena disanalah aku pertama kali mengenal makna cinta sejati. Cinta yang hanya memberi dan tak harap kembali seperti sinar mentari. Cinta yang tak lekang dimakan jaman, tergerus waktu. Adalah cinta orang tua yang kini sudah semakin renta. Yang dalam setiap desah nafasnya, detak jantungnya, tutur katanya adalah do'a tanpa jeda.
Ya, ..walau pemandangan alamnya tak seindah dulu, air sungainya tak sejernih dulu, hawa udaranya tak sesejuk dulu, orang-orangnya tak seramah dulu, semangat gotong royongnya tak sekuat dulu, kampungku selalu aku rindu. Karena masih ada kedamaian dan kebahagiaan di sana. Karena masih ada gemercik air pancuran, cicit burung, nyanyian katak, yang dapat mengingatkan kembali akan kenangan indah masa silam.
Kampungku Selalu Aku Rindu............