Dalam sebuah kompetisi, dalam hal apapun, akan ada yang tampil menjadi pemenang, namun tentu adapula yang harus kalah. Sejatinya, menang dan kalah bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena itu hanyalah bagian dari drama kehidupan. Hanya saja, diri kita terkadang begitu berambisi dan terobsesi akan manisnya kemenangan, tapi seringkali lupa mempersiapkan diri menerima pahitnya kekalahan.
Perlu bukti? Lihatlah kejadian yang banyak terjadi akhir-akhir ini di sekitar kita. Para caleg yang menjadi stress bahkan defresi gara-gara ia kalah dalam pemilu legislatif beberapa waktu lalu. Atau ada juga yang menjadi gila gara-gara gagal menjadi bupati dalam sebuah pilkada. Bahkan adapula yang melampiaskan kekesalan, kekecewaan, dan ketidakpuasannya dengan bertindak kasar bahkan mengarah anarkis.
Ah.... perasaan heran, bingung bercampur aduk menjadi satu. Mengapa diri kita enggan berjiwa besar, berlapang dada menerima setiap kekalahan? Mengapa diri kita terkadang begitu sulit menyadari bahwa dalam sebuah kompetisi pasti ada yang kalah dan ada yan menang?
Menang dan kalah adalah sebuah keniscayaan. Dan pemenang sejati bukanlah hanya mereka yang berdiri di podium kehormatan, berkalungkan medali kemenangan dengan piala dalam genggaman semata. Pemenang sejati adalah mereka yang menang tetapi tidak menepuk dada, dan mereka yang kalah tetapi tidak patah semangat. Pemenang sejati adalah mereka yang tetap berdiri tegak walaupun kaki-kaki mereka lemah, berjiwa tegar walau hatinya sedang dirundung duka, pikiran mereka jernih walau kekalahan itu terasa menyakitkan.
Kekalahan tak semestinya kehilangan kendali, jati diri, dan orientasi. Anggaplah kekalahan itu jamu kuat yang terasa pahit di lidah namun menyehatkan badan. Anggaplah kekalahan itu sebuah kesuksesan yang tertunda. Anggaplah kekalahan itu cambuk untuk diri kita bekerja lebih keras, berjuang lebih sungguh-sungguh, dan berdoa lebih khusyu.
0 komentar:
Posting Komentar