Tanggal 9 April 2009 tinggal menghitung hari. Bagi para calon anggota dewan, itulah saat-saat yang paling dinanti. Penuh harap, cemas dan mendebarkan. Boleh jadi, detak jantung kian kencang. Aliran darah pun makin deras. Akankah pengorbanannya tidak sia-sia? Akankah asa menjadi kenyataan? Ataukah kepedihan yang akan dirasakan?
Di hari penentuan itu, kita akan menyaksikan babak akhir sebuah drama kehidupan di panggung politik bangsa ini. Drama kehidupan bertemakan pertarungan memperebutkan kursi empuk sebagai anggota dewan.
Di hari penentuan itu, diantara mereka ada yang bahagia, tertawa, bersuka cita seolah dunia ini hanya milik mereka. Penuh keriangan, diselingi tawa canda. Perjuangan dan pengorbanannya; tenaga, pikiran, dan termasuk harta bendanya, tidak sia-sia. The dream comes true, pikirnya. Walaupun tentu saja, setelah menjadi anggota dewan, mereka tidak boleh tinggal diam dan hanya duduk-duduk nyaman di kursi kehormatan, karena bangsa ini akan mengenang janji-janji manis yang pernah mereka berikan, nyanyian indah tentang perubahan yang pernah mereka dendangkan.
Sebaliknya, di sudut panggung yang lain, kita akan menyaksikan, tidak sedikit diantara sang calon anggota dewan yang tampak muram, tatapan matanya sayu, rona wajahnya tak secerah biasanya, suaranya pun tak selantang saat mereka berpidato di atas panggung.
Di hari itu, mereka hanya diam, termanggu. Tiba-tiba kakinya merasa lemas seolah tak mampu menopang berat badannya lagi. Perasaan sedih, kecewa berkecamuk dalam dada mereka. Perjuangan belum berbuah manis. Padahal, boleh jadi puluhan bahkan ratusan juta telah dihabiskan untuk biaya kampanyenya; membuat poster, baligho, flyer, spanduk, dana operasional tim suksesnya, dan bahkan untuk memberikan uang kadeudeuh, salam perkenalan, sumbangan sosial kepada calon pemilihnya. Celakanya, tidak sedikit diantara mereka yang 'memaksakan diri'. Bahkan katanya ada yang terpaksa harus menggadaikan sawah ladangya demi untuk mewujudkan ambisinya menjadi seorang wakil rakyat.
Bagi mereka yang berjiwa besar dan juga berkantong tebal, akan menyadari bahwa inilah resiko kompetisi yang harus dihadapi oleh siapa saja - ada yang menang dan ada yang kalah. Mereka berkeyakinan kesempatan untuk meraih kemenangan masih ada di masa yang akan datang. Namun, bagi mereka yang berjiwa lemah, boleh jadi kekalahan akan terasa begitu menyakitkan dan memalukan. Dunia seolah kiamat.
Semoga pasca pemilu ini tidak bertambah banyak orang-orang yang depresi, dan sakit jiwa seperti halnya kasus calon bupati yang menjadi gila karena ia gagal menjadi pemenang!!!.
0 komentar:
Posting Komentar